Indonesia telah masuk fase krisis sebagai negara perokok ketiga di dunia, sehingga Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) ke-8 yang digelar mulai Senin sampai dengan Kamis (30/5-1/6) di Hotel Puri Asri, Magelang mengambil tema “We Need Food, Not Tobacco”. Kondisi ini menegaskan pentingnya regulasi pengendalian rokok dan jaminan pangan sehat bergizi masuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin dalam pidato ICTOH ke-8 menyatakan keprihatinan akibat tingginya jumlah perokok di Indonesia. Ia menyebutkan jumlah perokok Indonesia berada dalam peringkat tiga dunia, di bawah India dan Cina. “Dengan jumlah perokok lebih 65 juta orang, tidak hanya berdampak kepada kesehatan masyarakat. Kebiasaan merokok menyebabkan perubahan ekonomi kesehatan di Indonesia. Diperkirakan Rp 17,9- 20 triliun kerugian,” ujar Budi.
Ia mengatakan kondisi makin memprihatinkan karena terdapat 7,8 juta perokok dari mayarakat miskin yang lebih memilih membeli rokok dibandingkan memilih bahan makanan sehat dan bergizi. Data Badan Pusat Statistitk (BPS) menunjukkan rokok merupakan pengeluaran kedua tertinggi setelah beras, yaitu sebesar 11,9 persen di perkotaan, dan 11,2 persen di pedesaan. “Dibanding pengeluaran untuk telur ada 4,3 persen di perkotaan dan 3,7 persen di pedesaan,” ungkapnya.
Budi yakin bertepatan dengan peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2023 mengusung tema “Kami Butuh Makanan Pokok, Bukan Rokok” merupakan langkah untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya makanan sehat dan bergizi dibanding rokok. “Saya menghimbau semua stakeholder daerah dan pusat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan seluruh masyarakat untuk berperan aktif mendukung pengendalian konsumsi rokok,” tambahnya.
Senada dengan Menkes Budi, Dr. Lubna Bhatti dari WHO Indonesia membenarkan kondisi Indonesia sebagai tiga besar negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia memerlukan kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk mengambil kebijakan intervensi terhadap pengendalian konsumsi rokok. “Rokok adalah pembunuh terbesar di dunia. Untuk itu, kita membutuhkan solusi yang menyehatkan masyarakat namun tidak merugikan petani tembakau,” terang Lubna.
Sementara itu, sebagai tuan rumah penyelenggaraan ICTOH ke-8, Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), Dr. Lilik Andriyani, SE., M.Si menyatakan dukungannya dalam pengendalian rokok di lingkungan kampus. “Di UNIMMA, kami sebagai lembaga pendidikan berkomitmen untuk menghilangkan asap rokok agar semua orang dapat dengan tenang melakukan kegiatan akademik. Kami telah bekerja sama dengan MTCC (Muhammadiyah Tobacco Control Center) UNIMMA melalui berbagai inisiatif,” ujar Rektor.
Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Walikota Magelang, dr. H. Muchammad Nur Aziz, Sp.PD., K-GH., FINASIM yang menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 adalah pelajaran yang berharga bagi pemangku kebijakan untuk merumuskan regulasi dan aturan yang berorientasi pada kesehatan. Ia mengakui, Magelang belum sepenuhnya menjadi kota bebas rokok, apalagi ada sejumlah aturan lain yang sebelumnya belum sanggup menekan konsumsi rokok. Meski begitu, Ia berjanji akan meningkatkan standar kesehatan masyarakat Kota Magelang dari ancaman rokok agar bebas dari jerat kemiskinan dan penyakit menahun. “Masalah rokok itu tidak mudah diselesaikan karena tantangannya ada dalam diri sendiri. Aturan pemerintah yang ada sebelumnya tidak bisa saya cegah, jadi saya menekan penggunaan rokok di Magelang berkurang setahap demi setahap,” tuturnya.