Indonesia menjadi negara paling rawan terhadap bencana dibandingkan negara-negara lain di dunia. Hal tersebut karena letak geografis Indonesia di daerah pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Disamping itu juga bencana lain seperti letusan gunung berapi, tanah longsor, kekeringan, banjir, serta kebakaran hutan. Pantaslah bila Indonesia disebut sebagai supermarket bencana.
Untuk itulah dibutuhkan manajemen penanggulangan bencana yang meliputi pra, tanggap, dan paska bencana. Hal tersebut merupakan upaya untuk menekan jumlah kerugian dan korban serta penanganan pengungsi secara terencana dengan fase siaga darurat, tanggap darurat, dan pemulihan darurat. Dalam kondisi ini berbagai pihak harus bersinergi untuk mencapai tujuan penanggulangan bencana.
Hal tersebut diungkapkan oleh Didik Wahyu Nugroho, ST, Kasie Kegawatdaruratan BPBD Kabupaten Magelang saat menyampaikan paparan tentang Dasar-Dasar Penanggulangan Bencana pada acara Seminar Kegawatdaruratan “First Aid in Disaster Nursing Update” Selasa (18/9). Selain Didik, pemateri lain yakni Eko Susanto S. Kep, NS Kepala Ruang IGD RSU Tidar Magelang, serta Ns. Nurul Hidayah, MS, dosen Fikes UM Magelang.
Eko yang menyampaikan materi tentang Cardiac Arrest mengungkapkan bahwa henti jantung atau cardiac arrest merupakan kondisi dimana detak jantung berhenti secara tiba-tiba. “Pada kondisi seperti ini organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak karena otak hanya mampu bertahan jika ada asupan glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu kurang dari 10 menit otak tidak mendapatkan asupan maka otak akan mengalami kematian permanen dan menyebabkan kematian pada penderita,” kata Eko. Untuk itu, lanjutnya, penanganan pre hosipital adalah dengan melakukan restitusi jantung dan paru-paru untuk mendukung sirkulasi peredaran darah sampai tersedia perawatan medis yang pasti.
Adapun Nurul Hidayah yang membahas tentang Trend dan Isssue Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis mengungkapkan, pelayanan gawat darurat bertujuan untuk menyelamatkan jiwa dan organ dengan diagnosa yang tepat dan cepat. Beberapa tindakan yang berkaitan dengan etik gawat darurat dan kritis seperti euthanasia atau tindakan mengahkiri hidup pasien atas dasar medical futility dan Do Not Resuscitase (DNR) atau kebijakan yang diambil pihak keluarga maupun pasien dalam tindakan medik penyelamatan jiwa. “Jadi perawat kritis harus terus meningkatkan pengetahuannya tentang hal tersebut termasuk mempelajari alat dan teknologi telemedicine ,” ujar Nurul.
Seminar yang diadakan di Aula Fikes itu diikuti 150 peserta yang terdiri dari mahasiswa S1 Keperawatan UM Magelang semester 5 dan 7, para perseptor klinik (IGD dan ICU) di RS wilayah Kedu, serta dosen Keperawatan Fikes UM Magelang. Ns.Sigit Prijanto , M.Kep, Kaprodi S1 Keperawatan Fikes mengatakan bahwa seminar ini bertujuan memberikan bekal terutama bagi mahasiswa dalam mempersiapkan diri menjadi tenaga medis yang dapat memberikan pertolongan dalam kegawatdaruratan. (HUMAS)