Atin Istiarni, SIP., M.IP, Pustakawan dari UM Magelang terpilih menjadi speaker dalam  forum  International Federation of Library Assosiation World Library and Information Congress (IFLA WLIC) 2018 di  Kuala Lumpur, Malaysia beberapa waktu lalu. IFLA merupakan organisasi perpustakaan tingkat dunia.  Tahun ini jumlah seluruh peserta yang hadir dalam  forum pustakawan dunia  tersebut sebanyak 3600 orang  yang berasal dari 115 negara.

Saat diwawancarai, Atin menjelaskan bahwa dirinya terpilih menjadi speaker  di forum bergengsi tersebut setelah melalui serangkaian seleksi tulisan dalam Call for Paper yang berlangsung sejak Agustus 2017. “Ada 44 sesi presentasi yang masing-masing memberikan tema penelitian terkini tentang kepustakawanan di dunia,” ujar gadis yang tahun ini genap berusia 26 tahun.

Atin yang menjadi pustakawan di UM Magelang sejak  tiga tahun lalu itu menjelaskan, dirinya berangkat bersama enam delegasi lain dari Indonesia. Mereka  berasal dari perguruan tinggi, LIPI, dan Perpusnas.  Dalam kongres yang diadakan di Kuala Lumpur Convention Centre  tersebut, Atin yang menyelesaikan studi  S2 tahun 2016  berbicara dalam sesi Librarian Fashion dengan mengangkat tulisan berjudul Traditional Costumes As Librarians’ Uniforms for Work at Public Libraries of Yogyakarta, Indonesia yang ditulisnya bersama Ida Fajar Priyanto,Ph.D dari UGM. Sesi ini diikuti 600 peserta dari berbagai negara di belahan penjuru dunia.

Mengenai tema tersebut Atin mengungkapkan, pakaian tradisional yang dikenakan oleh pustakawan di perpustakaan umum Yogyakarta sangat menarik perhatian panitia karena merupakan hal baru yang perlu untuk diketahui dan dipresentasikan. Yogyakarta sebagai kota budaya, jelas Atin,  memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat dunia.

Dalam presentasinya selama  20 menit Atin mengungkap lebih dalam  tentang pustakawan yang mengenakan pakaian tradisional saat bekerja merupakan sebuah keunikan yang jarang ditemui. Mengenakan pakaian tradisional dapat dijadikan sebagai sarana bagi pustakawan untuk mengenalkan budaya pakaian adat Indonesia terutama Yogyakarta.  Hal tersebut ternyata menjadi “ikon” baru bagi  fesyen pustakawan yang selama ini identik dengan kacamata tebal, sweater, sikap kurang ramah, dan lain sebagainya.

Meskipun sempat mengalami demam panggung pada awal menyampaikan presentasi, namun Atin bersyukur dapat  menyampaikan dengan lancar hingga akhir acara dan mendapat aplaus dari ratusan audience  yang  mengikuti sesi tersebut.  “Sebuah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya karena  banyak ilmu dan pengetahuan baru yang saya dapatkan dari acara tersebut,” kata Atin. Ia berharap akan ada lagi  pustakawan dari Indonesia yang berbicara dalam kongres selanjutnya yang akan diselenggarakan tahun depan di Yunani.                                                       (HUMAS)