Berdasarkan Laporan Peta Nasional Keselamatan Pasien (Kongres PERSI 2007) kesalahan dalam pemberian obat (medication error) menduduki peringkat pertama (24,8%) dari 10 besar insiden yang dilaporkan. Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (TKK) harus menjalankan praktek sesuai standar pelayanan. Apoteker dan TTK juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional.
Dalam melakukan praktek tersebut, Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Standar Pelayanan Kefarmasiandiperlukan oleh apoteker dan TTK untuk dapat dipahami dan diimplementasikan oleh Apoteker dan TTK.
Selain itu kemajuan ilmu kesehatan dan pergeseran paradigma profesi farmasi di bidang pelayanan kesehatan dari drug oriented ke patient oriented, menuntut peningkatan peran tenaga teknis kefarmasian yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, maupun apotek agar kualitas hidup pasien meningkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan peran tenaga teknis kefarmasian dalam pengelolaan obat yang baik.
Siklus pengelolaan obat dan pelayanan juga harus dipahami dan dikuasai oleh TTK sebagai tenaga profesional seiring dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan ekonomi masyarakat yang menyebabkan makin meningkat pula kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang peran apoteker dan TTK terhadap penyebab terjadinya medication error serta pencegahannya dan juga untuk meningkatkan mutu manajemen kefarmasian, Prodi Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan UM Magelang mengadakan dua kegiatan sekaligus yakni “Pelatihan Peran Tenaga Teknis Kefarmasian dalam Pencegahan Terjadinya Medication Error serta Pelatihan Peran Tenaga Teknis Kefarmasian dalam Meningkatkan Mutu Manajemen Kefarmasian” .
Kegiatan di Hotel Oxalis itu diadakan selama dua hari yakni Selasa dan Rabu (9-10/6) dengan diikuti 100 peserta yang terdiri dari mahasiswa tingkat akhir DIII Prodi Farmasi UM Magelang, TTK serta pharmacist baik yang berkerja di Rumah Sakit, Puskesmas, maupun Apotek di daerah Karisedenan Kedu.
Di hari pertama dua pemateri yakni Drs. Budi Raharjo, SPFRS, Apt (Praktisi RSUD Margono Soekarjo Purwokerto) serta Bondan Ardiningtyas, M.Sc, Apt (Praktisi Apotek UGM, Yogyakarta) yang membahas tentang tuntutan Apoteker dan TTK dalam berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya untuk menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. “Selain kemampuan berkomunikasi, Apoteker dan TTK juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk itu diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian yang harus dipahami dan diimplementasikan oleh Apoteker dan TKK, ” papar Budi Raharjo sebagai salah satu pemateri.
Pelatihan “Peran Tenaga Teknis Kefarmasian dalam Pencegahan Terjadinya Medication Error “ bermanfaat untuk meningkatkan keahlian dan pengetahuan tenaga teknis kefarmasian dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada patient safety di rumah sakit, puskesmas, maupun apotek. TTK atau yang dulu disebut asisten apoteker merupakan salah satu profesi yang sudah cukup lama dikenal dalam pelayanan di lingkungan masyarakat luas dan hingga kini profesi tersebut masih sangat banyak dibutuhkan, mengingat jumlah sarana-sarana pelayanan kesehatan khususnya sarana–sarana kefarmasian bertumbuh terus seiring bertambahnya jumlah penduduk.
Adapun pelatihan Peran Tenaga Teknis Kefarmasian dalam Meningkatkan Mutu Manajemen Kefarmasian, menghadirkan dua pemateri yakni Dr. Satibi, M.Si.,Apt (Akademisi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada) dan Paulus Ari Yuono, S.Si.,Apt (Praktisi). Satibi menekankan tentang perlunya pengelolaan obat berupa perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan penggunaan obat. Selain itu juga diperlukan evaluasi yang meliputi rata-rata waktu yang digunakan dalam konsultasi, pelayanan sejak resep diterima hingga obat diberikan kepada pasien, menghitung jumlah obat yang dilayani dibanding dengan keseluruhan obat yang seharusnya dilayani, serta menghitung jumlah label yang dibuat yang tidak sesuai standar sehingga menjadi lebih efektif dan efisien.
Lebih lanjut Wakil Dekan Fakultas Farmasi UGM itu juga menegaskan tentang kemampuan apoteker dan TTK yang harus memberikan edukasi kepada pasien tentang pentingnya packaging sekunder (bungkus obat yang berisi komposisi obat serta berbagai kontra indikasi lainnya). “Selama ini pasien hanya diberikan packaging primer (yang langsung bersentuhan dengan obat semisal botol sirup atau tub salep) tanpa diberi penjelasan tentang perlunya menyimpan packaging sekunder. Selain itu apoteker dan TTK merupakan tenaga profesional yang harusnya mengedukasi pasien tentang pentingnya kedua unsur packaging tersebut,” ungkapnya.(YUDIA-HUMAS)