Saat mendapatkan kabar ada nenek usia 78 tahun namanya Bu Nurlina dari Pematangsiantar Sumatra Utara rela menempuh perjalanan darat sendirian dengan naik bus selama 4 hari untuk menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Solo, tidak terasa air mata mengalir tak terbendung. Begitu hebat nenek ini mengekspresikan kecintaannya pada Muhammadiyah. Kejutan terus berdatangan saat ada sepasang suami istri menempuh perjalanan sekitar 300 km dengan naik Sepeda Ontel demi menghadiri acara yang sama. Dari Unimma ada Pak Rohmadi yang sendirian Ngontel dari Magelang untuk menggembirakan acara Muktamar.

Ekspresi kecintaan pada Muhammadiyah digambarkan dengan beragam cara. Mulai dari jadi relawan dapur umum, iuran dana untuk membantu dapur umum, beli kaos muktamar (meskipun tidak ikut berangkat he..he..), ataupun bersemangat dan berjubal dengan penggembira lain dalam rombongan Bus menuju arena Muktamar. Warga yang dekat dengan lokasi Muktamar juga tidak kalah sibuk menyambut dan memeriahkan agenda 5 tahunan ini. Bahkan yang menarik saudara-sadara dari PCNU dan GP Ansor menyediakan tempat untuk singgah bagi para pengembira yang membutuhkan tempat untuk menginap. Saudara dari kaum Nasrani juga berkomitmen kuat mensukseskan hajat besar Muhammadiyah ini.
Rombongan penggembira dari Sulawesi bahkan sampai menyewa Kapal yang berisikan ribuan orang khusus untuk membawa para penggembira menuju arena muktamar. Belum lagi yang menyewa beberapa pesawat untuk tujuan yang sama. Tidak kalah rombongan dari Sumatera seperti Bengkulu, Lampung dan daerah lainnya menyiapkan puluhan bahkan ratusan Bus untuk mensukseskan dan menyemarakkan acara Muktamar.
Pagi jelang pembukaan semua warga Muhammadiyah menuju Manahan. Stadion dengan kapasitas puluhan ribu itu tidak mampu menampung antusias ratusan bahkan jutaan warga persyariktan yang ingin menyaksikan secara langsung perhelatan akbar itu. Saat mereka harus berdesakan masuk Stadion suasanya begitu tegang. Ada yang bercerita membayangkan akan terjadi tragedi seperti di Kanjuruan Malang. Alhamdulillah dengan hati yang teduh dan penuh gembira peristiwa serupa tidak terjadi. Semua sederajat, tidak ada peserta yang diistimewakan, mereka yang bergelar Profesor, punya jabatan tinggi di persyarikatan tetap ikut antri dan berdesakan masuk ke Stadion Manahan bersama peserta lainnya.
Spasang suami istri tampak bersemangat menghadiri pembukkan Muktamar meskipun mereka berdua harus memakai kursi roda, sakit dan usia renta mengakibatkan dua kaki mereka tidak mampu lagi menyangga tubuhnya. Namun semangatya tidak perjlu dipertanyakan lagi. Karena tidak mampu masuk ke dalam stadion akhirnya mereka menikmati acara pembukaan dari luar stadion. Untugnya panitia menyiapkan 4 videotron dengan ukuran jumbo agar bisa menyiarkan secara langsung dan dapat dinikmati oleh mereka yang berada di luar stadion.
Segudang cerita unik dan menarik lain tentu bisa kita saksikan, betapa semua itu wujud kecintaan mereka pada Muhammadiyah. Mereka memaknai Muhammadiyah tidak sekedar karena jadi pengurus, atau karena bekerja di salah satu amal usaha Muhammadiyah. Bermuhammadiyah adalah rasa bukan soal cara, karena cara akan mengikuti rasa, mereka yang tidak memiliki rasa tidak akan pernah menemukan cara. Meskipun puluhan tahun bekerja di Muhammadiyah namun tidak pernah menumbuhkan rasa maka tak akan pernah mampu menjadi Muhammadiyah.
(Bersambung)
Tulisan oleh: Gus Zuhron
Gambar : Agus Miswanto, M.A