Sidang Pleno II Muktamar Muhammadiyah menghadirkan Pidato Iftitah Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir di depan peserta muktamar di Gedung Edutorium KH Ahmad Dahlan UMS, Sabtu sore (19/11). Ketua Umum PP Muhammadiyah menyelesaikan pidato iftitah dalam waktu sekitar 20 menit. 10 menit pertama, Haedar Nashir melalui mimbar panggung sidang muktamar, menyampaikan tiga pertanyaan instropektif bagi para peserta muktamar Muhammadiyah.

Dalam pandangan Haedar Nashir, Muhammadiyah tumbuh berkembang menjadi kekuatan strategis bangsa tingkat nasional dan internasional. “Muktamar Muhammadiyah kali ini dilaksanakan bersamaan dengan Milad 110 tahun yang jatuh pada hari kemarin, ketika kita melaksanakan Tanwir Muhammadiyah (Minggu, 6 November),” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 2015-2022 tersebut.

Disampaikan Haedar Nashir, usia 110 tahun merupakan perjalanan panjang dan Muhammadiyah jadi satu-satunya organisasi Islam tertua yang masih bertahan menjadi organisasi terbesar. “Kesyukuran kita itu tentunya harus kita jadikan modal strategis kita melangkah ke depan menjadi lebih baik lagi. Sehingga Muhammadiyah dalam mengembangkan misi dakwah dan tajdid menjadi kekuatan yang lebih berkualitas bahkan unggul dalam berbagai aspek kehidupan yang jadi bidang garap,” kata Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut.

Haedar Nashir juga mengatakan, ada pertanyaan besar yaitu bagaimana spirit Muhammadiyah mengemban misi Waltakum mingkum ummatuy yad’ụna ilal-khairi wa ya`murụna bil-ma’rụfi wa yan-hauna ‘anil-mungkar sekaligus juga membangun khoiru ummah yang menjadi cita-cita Muhammadiyah dapat diformulasikan untuk mewujudkan masyarkat Islam yang memberi rahmat semesta alam. “Gerak kemajuan ini tentu jadi agenda kita untuk bermuhasabah, berintrospeksi bagaimana dalam usia 110 tahun kita bisa mengagregasikan kemajuan dan etos kemajuan yang sudah kita miliki dan pada saat yang sama kita tahu kekurangan dan kelemahannya. Kita sudah cukup untuk mendaftar kemajuan-kemajuan yang kita peroleh dan itu bentuk dari tasyakur kita,” tuturnya.

Haedar Nashir menambahkan bahwa sekarang Muhammadiyah menghadapi dinamika baru dalam kehidupan manusia di tingkat global maupun dinamika internal dari wilayah, daerah, cabang dan ranting yang memiliki kondisi beragam. “Sehingga sejumlah pertanyaan sebagai wujud kita dalam bermuhasabah dapat dimunculkan. Pertama, kita bisa bertanya apakah jamaah di ranting, kawasan masjid, mushala dan pengajian dan berbagai aktifitas keagamaan dan kemasyarakatan di masyarakat lingkungan Muhammadiyah yang ada masih tergarap dengan baik? Bahkan semakin baik atau mengalami stagnasi bahkan kita teralienasi dari dinamika yang terjadi,” terang Ketua Umum PP Muhammadiyah berusia 64 tahun itu.

Menurutnya, pertanyaan tersebut penting untuk menjadi bahan renungan seluruh muktamirin agar bisa mengetahui kondisi yang dimiliki di tingkat basis akar rumput.

Kedua Muktamar yang lalu, Muhammadiyah mempunyai program bagus yaitu dakwah komunitas sebagai mata rantai dakwah kultural bahkan lebih ke belakang lagi satu mata rantai dari gerakan jamaah dan dakwah jamaah tahun 1968. “Pertanyaan kita, apakah dakwah komunitas kita yang telah jadi keputusan muktamar itu betul-betul jadi program terlaksana di tempat kita masing-masing? Bahkan syukur kalau ada model dari kawasan ranting, cabang dan daerah serta kawasan yang memiliki best practice dari program gerakan jamaah dan dakwah jamaah,” kata figure yang ber-Muhammadiyah sejak tahun 1983 itu.

Disampaikan Haedar Nashir, saat ini warga Muhammadiyah ketika pergi ke daerah atau cabang-cabang masih sering mendengar, ada masjid tidak tergarap bahkan ada yang pindah tangan ke tempat pihak lain, maka anggota Muhammadiyah perlu bertanya seberapa jauh dakwah komunitas itu berjalan. “Dua pertanyaan ini saja sudah cukup menjadi bahan refleksi kita di tengah apa yang kita sebut dinamika kemajuan dan prestasi yang kita alami,” jelasnya.

Saat ini, Muhammadiyah sedang diuji dalam konteks nasional dan global yang niscaya warganya hadir sebagai kekuatan strategis jika orang mengatakan Muhammadiyah gerakan modern terbesar, gerakan reformis terbesar tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia, maka bagaimana Muhammadiyah hadir di tengah dinamika tersebut. “Saya ingin highlight sedikit bahwa Muhammadiyah memang punya tradisi besar yang punya produkifitas sebagai organisasi yang sejak awal punya pondasi agama kokoh, sistem organisasi bagus, SDM waktu itu dianggap berkualitas dan lebih penting lagi peran-peran kemasyarakatan lewat amal usaha sudah jadi milik umum,” kata Haedar Nashir.

Dalam konteks ini, Haedar Nashir melihat Muhammadiyah perlu menyelesaikan positioning yang dimiliki, bahwa sejatinya dalam tradisi besar itu maka Muhammadiyah harus selesai dengan dirinya sendiri. “Ketika kita berinteraksi di dalam dinamika lokal regional mestinya soal trust, marwah soal integritas, pondasi nilai keislaman dan kemuhammadiyahan kita sudah selesai, tidak ada lagi keraguan dan saling meragukan antar diri kita,” ujar Haedar Nashir.

Hal ini bertujuan agar Muhammadiyah punya keleluasaan untuk membuka sebanyak dan seluas mungkin radius gerakan dalam dinamika lokal regional dan global di tengah dinamika gerakan lain yang saat bertumbuh pesat dengan berbagai segmen dan orientasi gerakan. Ada beberapa tempat seperti rumah sakit milik orang, sekolah milik orang yang bertumbuh besar menjadi sekolah dan RS unggulan. “Tentu kita perlu melihat diri kita sendiri di tengah dinamika ini apakah kita mau bersifat pasif, apologi atau bersifat proaktif dan konstruksi bahkan melakukan langkah bersifat kompetitif,” ujar Haedar Nashir.

 

Sumber: Rilis Panitia Muktamar 48